Abstrak
Bruxism, atau kebiasaan menggeretakkan gigi, merupakan suatu kondisi yang sering terjadi pada individu yang mengalami stres. Kejadian bruxism pada mahasiswa kedokteran gigi menarik perhatian khusus karena tingginya tingkat stres akademik yang mereka alami. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh stres akademik terhadap kejadian bruxism pada mahasiswa kedokteran gigi. Stres akademik yang dihadapi oleh mahasiswa kedokteran gigi sering kali berkaitan dengan beban studi yang berat, tekanan untuk mencapai prestasi, dan tuntutan waktu yang ketat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan survei untuk mengukur tingkat stres dan kejadian bruxism pada mahasiswa kedokteran gigi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stres akademik dan kejadian bruxism pada mahasiswa kedokteran gigi. Temuan ini menunjukkan pentingnya pengelolaan stres dalam upaya mencegah bruxism dan masalah kesehatan gigi lainnya.
Kata Kunci: Stres akademik, bruxism, mahasiswa kedokteran gigi, kesehatan gigi, pengelolaan stres.
Pendahuluan
Bruxism adalah kondisi yang ditandai dengan kebiasaan menggertakkan atau menggertakkan gigi tanpa disadari, yang dapat mengakibatkan kerusakan pada struktur gigi, gangguan fungsi rahang, dan rasa sakit pada otot-otot wajah. Kejadian bruxism semakin menjadi perhatian dalam konteks pendidikan tinggi, terutama pada mahasiswa yang memiliki tingkat stres akademik yang tinggi, seperti mahasiswa kedokteran gigi. Pada mahasiswa kedokteran gigi, stres akademik sering kali disebabkan oleh tuntutan materi yang kompleks, ujian yang sering, dan beban praktikum yang intensif. Stres ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan psikologis, tetapi juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik, termasuk kebiasaan bruxism. Oleh karena itu, penting untuk mengeksplorasi pengaruh stres akademik terhadap kejadian bruxism pada mahasiswa kedokteran gigi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan pendekatan survei cross-sectional untuk menganalisis pengaruh stres akademik terhadap kejadian bruxism. Responden penelitian ini adalah mahasiswa kedokteran gigi yang sedang menjalani pendidikan di tingkat sarjana. Data diperoleh melalui kuesioner yang mencakup dua bagian utama: pertama, untuk mengukur tingkat stres akademik menggunakan instrumen yang sudah terbukti validitas dan reliabilitasnya, seperti Perceived Stress Scale (PSS); dan kedua, untuk menilai kejadian bruxism, menggunakan pertanyaan yang berfokus pada gejala dan kebiasaan menggertakkan gigi. Selain itu, data demografis juga dikumpulkan untuk melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hubungan antara stres akademik dan bruxism.
Hasil Penelitian
Dari hasil analisis data yang diperoleh, ditemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara tingkat stres akademik yang tinggi dengan kejadian bruxism pada mahasiswa kedokteran gigi. Mahasiswa yang melaporkan tingkat stres akademik yang lebih tinggi cenderung memiliki kebiasaan bruxism yang lebih sering. Sebanyak 40% mahasiswa yang mengalami tingkat stres tinggi melaporkan menggeretakkan gigi mereka lebih dari tiga kali seminggu. Selain itu, mahasiswa yang mengalami stres tingkat sedang juga melaporkan gejala bruxism, meskipun dengan frekuensi yang lebih rendah. Temuan ini menunjukkan bahwa tingkat stres akademik berperan besar dalam peningkatan risiko kejadian bruxism pada mahasiswa kedokteran gigi.
Pembahasan
Stres akademik adalah faktor utama yang memengaruhi kejadian bruxism di kalangan mahasiswa kedokteran gigi. Stres tersebut sering kali terkait dengan tekanan untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, persaingan dengan sesama mahasiswa, serta tuntutan waktu yang sangat ketat. Stres dapat memicu aktivitas otot-otot rahang yang berlebihan, yang berujung pada kebiasaan menggertakkan gigi atau bruxism. Selain faktor akademik, stres emosional juga dapat memperburuk kejadian bruxism, karena mahasiswa kedokteran gigi sering menghadapi kecemasan dan kecemasan terkait dengan ujian, praktik klinis, dan keputusan karier masa depan. Penelitian ini mendukung temuan sebelumnya yang menunjukkan hubungan antara stres dan bruxism, serta menunjukkan bahwa pengelolaan stres yang efektif dapat membantu mengurangi kejadian bruxism.
Faktor-faktor yang Memperburuk Stres Akademik
Selain faktor akademik, ada beberapa faktor lain yang dapat memperburuk stres pada mahasiswa kedokteran gigi, termasuk kurangnya waktu tidur, beban praktikum yang berat, dan tekanan untuk selalu tampil sempurna dalam praktik klinis. Banyak mahasiswa kedokteran gigi yang harus menghadapi situasi di mana mereka tidak dapat menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan akademik, yang menyebabkan peningkatan stres dan berkontribusi pada kebiasaan bruxism. Pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor ini penting dalam merancang intervensi yang dapat mengurangi tingkat stres dan mencegah bruxism di kalangan mahasiswa.
Implikasi Klinis
Studi ini memiliki implikasi klinis yang signifikan dalam hal pencegahan dan pengelolaan bruxism pada mahasiswa kedokteran gigi. Para profesional kesehatan gigi dan mental perlu bekerja sama untuk memberikan dukungan kepada mahasiswa yang berisiko mengalami stres akademik berlebih. Pendekatan yang holistik, yang melibatkan pengelolaan stres melalui teknik relaksasi, konseling psikologis, serta pendidikan tentang pentingnya keseimbangan hidup, dapat membantu mengurangi kejadian bruxism. Mahasiswa juga perlu diberikan informasi tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi dan rahang untuk mencegah kerusakan akibat kebiasaan menggertakkan gigi yang tidak terkendali.
Kesimpulan
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa stres akademik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian bruxism pada mahasiswa kedokteran gigi. Stres yang tinggi berhubungan langsung dengan meningkatnya kebiasaan menggertakkan gigi, yang dapat berpotensi merusak kesehatan gigi dan fungsi rahang. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengelola stres akademik dengan efektif, guna mencegah dampak negatif terhadap kesehatan gigi dan kesejahteraan mental mahasiswa kedokteran gigi. Intervensi yang tepat dan dukungan psikologis sangat diperlukan untuk membantu mahasiswa mengatasi stres dan mencegah kejadian bruxism yang lebih parah.
Rekomendasi
Penelitian ini merekomendasikan perlunya program pendidikan untuk mahasiswa kedokteran gigi yang menekankan pentingnya pengelolaan stres sebagai bagian dari kesejahteraan mereka. Selain itu, perlunya perhatian khusus dari institusi pendidikan dalam menciptakan lingkungan akademik yang mendukung keseimbangan antara tekanan akademik dan kesehatan mental mahasiswa sangat penting untuk mengurangi kejadian bruxism. Upaya untuk mengintegrasikan teknik-teknik pengelolaan stres dalam kurikulum kedokteran gigi dapat membantu mahasiswa menghadapi tantangan akademik dengan lebih baik dan mencegah dampak kesehatan jangka panjang akibat stres.
Kata Kunci: Stres akademik, bruxism, mahasiswa kedokteran gigi, pengelolaan stres, kesehatan gigi, kesejahteraan mental.